Blog List

Thursday 5 April 2018

PEMBUATAN BIOETANOL DARI LIMBAH KAYU SENGON (Falcataria moluccana (Miq.) Barneby & J.W. Grimes) DENGAN METODE SUBSTRAT KONSENTRASI TINGGI

Author
Ina Winarni, Teuku Beuna Bardant

Abstract


Industri penggergajian kayu baik skala kecil, menengah dan besar banyak beroperasi di Indonesia. Pada saat mengkonversi dolok menjadi kayu gergajian menghasilkan limbah kayu berupa potongan kecil dan serbuk gergaji. Potongan kecil kayu merupakan bahan berlignoselulosa yang berpotensi untuk menghasilkan etanol. Tulisan ini mempelajari kemungkinan pemanfaatan potongan kecil limbah kayu sengon untuk menghasilkan bioetanol. Pembuatan etanol, dilakukan dengan metode substrat konsentrasi tinggi dengan menghidrolisis substrat konsentrasi tinggi, yaitu 15, 25, dan 35% dan dua konsentrasi enzim (12,5 dan 15 FPU/g substrat). Hasil penelitian menunjukkan, perlakuan konsentrasi substrat 25% dan selulase 15 FPU/g substrat menghasilkan gula pereduksi tertinggi sebesar 248,3 mg/mL; sedangkan konsentrasi substrat 35% menghasilkan kadar etanol tertinggi sebesar 17,7% dengan rendemen sebesar 38,4%. Dapat disimpulkan bahwa metode substrat konsentrasi tinggi dapat menghasilkan kadar etanol yang tinggi pada limbah kayu sengon.


Keywords


Limbah kayu sengon; lignoselulosa; hidrolisis; kadar etanol

References


Bardant, T. B., Indiyanti., & Selviyanti, T. (2012). Study of response surface methodology (RSM) on the effect of span 85 in high substrate loading enzymatic hydrolysis of palm oil EFB. Dalam The 2nd
Korea Indonesia Workshop & International Symposium on Bioenergy from Biomass (pp.2302-1454).
Cheng, N., Yamamoto, Y., Koda, K., Tamai, Y., & Uraki, Y. (2014). Amphipathic lignin derivatives to accelerate simultaneous saccharification and fermentation of unbleached softwood pulp for bioethanol production. Bioresource Technology, 173, 104-109. doi: 10.1016/j.biortech. 2014.09.093.
Converse, A. O., Ooshima, H., & Burns, D. S. (1990). Kinetics of enzimatic hydrolysis of lignocellulose materials based on surface area of cellulose accessible to enzyme and enzyme adsorption on lignin and cellulose. Applied Biochemistry and Biotechnology, 24, 67-73.
Duta, D. K. (2016). 2016, Pertamina impor BBM 8 juta barel per bulan. Diakses dari https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20160311182221-85-116856/2016-pertamina-impor-bbm-8-juta-barel-per-bulan/pada tanggal 16 Agustus 2017.
Kementerian Kehutanan Republik Indonesia.(2012). Statistik kehutanan Indonesia Kementerian Kehutanan, Jakarta
Lynd, L. R. (1996). Overview and evaluation of fuel ethanol from cellulosic biomass?: Technology, Economis, the Enviroment, and Policy. Annual Review of Energy and the Environment, 21, 403-465. doi: 10.1146/ annurev.energy.21.1.403
Purwanto, D. (2009). Analisa jenis limbah kayu pada industri pengolahan kayu di Kalimantan Selatan. Jurnal Riset Industri Hasil Hutan, 1(1), 14-20.
Rathna, G. S., Saranya, R., & Kalaiselvam, M. (2014). Bioethanol from sawdust using cellulase hydrolysis of Aspergilllus ochraceus and fer mentation by Sacharomyces cerevisae. Microbiology Applied Science, 3(12), 733-742.
Saputro, D. E. (2015). Laporan Kunjungan Industri PT Pabrik Gula Madukismo. Laporan kunjungan mahasiswa. diakses dari http://www.slideshare.netAdgilo/laporan-kunjungan-industri-pt-madu-kusumo-magelang, tanggal 3 Agustus 2017
Shintawaty, A. (2006). Prospek pengembangan biodiesel dan Bioetanol sebagai bahan bakar alternatif di Indonesia. Diakses dari https://id.scribd.com/document/80902141/Prospek-Biodiesel, pada tanggal 28 Agustus 2017.
Silverstein, R. A., Chen, Y., Sharma-Shivappa, R. R., Boyette, M. D., & Osborne, J. (2007). Acomparison of chemical pretreatment methods for improving saccharification of cotton stalks. Bioresource Technology, 98(16),3000-3011. doi: 10.1016/j.biortech. 2006.10.022.
Sukmana, H. (2015). Penggunaan pulp kayu kelapa sawit dalam produksi bioetanol dari limbah lignoselulosa. (Skripsi) Program Pendidikan Sarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Winarni, I., Komarayati, S., & Djarwanto. (2017). Formulasi ragi campuran untuk produksi bioetanol dari limbah kayu sengon. Jurnal Penelitian Hasil Hutan,35(2),135-143. doi: 10.20886/jphh.2017.35.2.135-143.
Winarni, I., Oikawa, C., Yamada, T., Igarashi, K., Koda, K., & Uraki, Y. (2013). Improvement of enzymatic saccharification of unbleached cedar pulp with amphipathic lignin derivatives. BioResources, 8(2), 2195-2208.



DOI: https://doi.org/10.20886/jphh.2017.35.4.231-242


For further details log on website :
http://ejournal.forda-mof.org/ejournal-litbang/index.php/JPHH/article/view/1698

PEMANFAATAN SISA MEDIA JAMUR PELAPUK PADA DEKOMPOSISI LIMBAH PADAT PULP Acacia mangium

Author
Sihati Suprapti, Djarwanto Djarwanto, Sri Komarayati

Abstract


Saat ini, jamur Ganoderma lucidumPleurotus ostreatus, dan P. sajor-caju berprospek untuk mendekomposisi limbah industri pulp dan kertas. Tulisan ini mempelajari kemungkinan pemanfaatan sisa media jamur pelapuk untuk dekomposisi limbah padat mangium. Jamur tersebut dibudidayakan terlebih dahulu pada media serbuk gergaji kayu sengon (Falcataria moluccana) selama tiga bulan. Sisa media jamur digunakan sebagai aktivator degradasi, dengan cara diinokulasikan ke dalam limbah padat pulp Acacia mangium, kemudian diinkubasikan selama enam bulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam tiga bulan masa inkubasi, nilai Efisiensi Konversi Biologi (EKB) oleh jamur pada serbuk gergaji kayu sengon adalah 13,41% (G. lucidum), 47,11 % (P. ostreatus), dan 38,06% (P. sajor-caju). Inokulasi jamur ke dalam limbah padat meningkatkan nisbah C/N sebesar 71,59%. Semakin tinggi konsentrasi inokulan G. lucidum, nilai C/N cenderung meningkat. Setelah enam bulan, kadar unsur haranya turun sebesar 48,76% (N); 35,42%(P), dan 25% (K), namun kadar Ca dan Mg meningkat masing-masing sebesar 112,9% dan 6,67%. Pada kontrol terjadi penurunan sebesar 66,12% (Ca); 68,75% (P); 4,17% (Mg), dan terjadi kenaikan kadar K dan Ca masing-masing 2,08% dan 64,52%. Rata-rata nilai kapasitas tukar kation (KTK) limbah padat setelah inkubasi selama enam bulan naik 3,85% (kontrol) dan 56,8% (yang diinokulasi dengan jamur).

Keywords


Limbah padat; jamur pelapuk; nilai EKB; unsur hara; KTK

References


Aritonang, R., & Indrawan, D.A. (2009). Upaya pengelolaan limbah industri PT. Tanjung Enim Lestari Pulp and Paper. Dalam A.P. Tampubolon, S. Abdurrochim, Barly, G. Pari, & Suhariyanto (Eds.), Prosiding Seminar Teknologi Pemanfaatan Limbah Industri Pulp dan Kertas untuk Mengurangi Beban Lingkungan (pp. 7-17). Bogor.
Chang, S.T., & Miles, P.G. (2004). Mushrooms - cultivication, nutritional value, medicinal effect, and environmental impact. (2ndEd.). USA: CRCPress.
Djarwanto. (2009). Studi pemanfaatan tiga jenisfungi pada pelapukan daun dan rantingmangium di tempat terbuka. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 27(4), 314-322.
Djarwanto & Suprapti, S. (2010a). Pengaruh sumber bibit terhadap pertumbuhan jamur tiram. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 28(2), 156-168.
Djarwanto & Suprapti, S. (2010b). Pertumbuhan dan nilai gizi Ganoderma lucidum pada media limbah mangium. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 28(1), 9-17.
Djarwanto, Suprapti, S., & Ismanto, A. (2016). Biokonversi serbuk gergaji kayu hutan tanaman sebagai media jamur pangan Pleurotus spp. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 34(4), 285-296. doi: 10.20886/jphh.2016.34.4
Gregori, A., Ć vagelf, M., & Pohleven, J. (2007). Cultivation techniques and medicinal properties of Pleurotus spp. Food Technology and Biotechnology, 45(3), 238-249.
Gusmailina & Komarayati, S. (2009). Teknologi inovasi penanganan limbah industri pulp dan ker tas menjadi arang kompos bioaktif. Dalam A.P. Tampubolon, S. Abdurrochim, Barly, G. Pari, & Suhariyanto (Eds.), Prosiding Pemanfaatan Limbah Industri Pulp dan Kertas untuk Mengurangi Beban Lingkungan (pp. 18-30). Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan, Bogor.
Islam, M.Z., Rahman, M.H., & Hafiz, F. (2009). Cultivation of oyster mushroom (Pleurotus flabellatus) on different substrates. International Journal Sustainable Crop Production, 4(1), 45-48.
Khan, N.A., Ajmal, M., Inam Ul Haq, M., Javed, N., Asif Ali, M., Binyamin, R., & Khan, S. A. (2012). Impact of sawdust using various woods for effective cultivation of oyster mushroom. Pakistan Journal of Botany, 44(1), 399-402.
Kihumbu, A.G., Shitandi, A.A., Maina, M., Khare, K.B., & Sharma, H.K. (2008). Nutritional composition of Pleurotus sajor-caju grown on water hyacinth, wheat straw and corncob substrates. Research Journal of Agriculture and Biological Sciences, 4(4), 321-326.
Komarayati, S., Gusmailina, & Djarwanto. (2012). Pemanfaatan sisa media tumbuh jamur tiram untuk arang kompos. Dalam J. Sulistyo, R. Widyorini, G. Lukmandaru, M. N. Rofii, & V.E. Prasetyo (Eds.), Prosiding Seminar Nasional MAPEKI XIV (pp. 889-894). Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia, Yogyakarta.
Komarayati, S., & Pasaribu, R.A. (2005). Pembuatan pupuk organik dari limbah padat industri kertas. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 23(1), 35-41.
Komarayati, S., Pasaribu, R.A., & Roliadi, H. (2009). Teknologi dan kelayakan finansial pemanfaatan limbah industri pulp dan kertas. Dalam A.P. Tampubolon, S. Abdurrohim, Barly, G. Pari, & Suhariyanto (Eds.), Prosiding Seminar Teknologi Pemanfaatan Limbah Industri Pulp dan Kertas untuk Mengurangi Beban Lingkungan Industri Pulp dan Kertas (pp. 81-92). Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan, Bogor.
Mtui, G.Y.S. (2012). Lignocellulosic enzymes from tropical fungi: Types, substrates and applications. Scientific Research and Essays, 7(15), 1544-1555. doi: 10.5897/SRE11. 1812
Narh, D.L., Obodai, M., Baka, D., & Dzomeku, M. (2011). The efficiency of sorghum and millet grains in spawn production and carpophore formation of Pleurotus ostreatus (Jacq. ex Fr.) Kummer. International Food Research Journal, 18(3), 1143-1148.
Novizan. (2002). Petunjuk pemupukan yang efektif. (Cetakan 1). L.A. Marianto (Ed.) Depok: PT. Agro Media Pustaka.
Patel, Y., Naraian, R., & Singh, V.K. (2012). Medicinal properties of Pleurotus species (oyster mushroom): A review. World Journal of Fungal and Plant Biology, 3(1), 1-12. doi: 10.5829/idosi.wjfpb.2012.3.1.303.
Paterson, R.R.M. (2006). Ganoderma - Atherapeutic fungal biofactory. Phytochemistry, 67, 1985-2001. doi: 10.1016/j.phytochem. 2006.07.004.
Pathmashini, L., Arulnandhy, V., & Wijeratnam, R.S.W. (2008). Cultivation of oyster mushroom (Pleurotus ostreatus) on sawdust. Ceylon Journal of Science (Biological Science), 37(2), 177-182.
Prayitno, & Sukosrono. (2007). Reduksi limbah padat dengan sistem pembakaran dalamtungku bakar. Dalam Prosiding PPI-PDIPTN2007 (pp. 61-68). Pusat Akselerator dan Proses Bahan-Batan, Yogyakarta.
Purwati, S., Soetopo, R.S., & Setiawan, Y. (2006). Potensi dan alternatif pemanfaatan limbah padat industri pulp dan kertas. Berita Selulosa, 41(2), 68-79.
Schmidt, O. (2007). Indoor wood-decay Basidiomycetes: Damage, causal fungi, physiology, identification and characterization, prevention and control. German: German Mycologycal Society and Springer.
Shah, Z., Ashraf, M., & Ishtiaq Ch.M. (2004). Comparative study on cultivation and yield performance of oyster mushroom (Pleurotus ostreatus) on different substrates (wheat straw, leaves, saw dust). Pakistan Journal of Nutrition, 3(3), 158-160. doi: 10.3923/pjn.2004.158.160.
Sinuhaji, F. (2008). Pemanfaatan limbah padat pulp (sludge) dengan serat pelepah batang pisang menjadi tatakan telur. Jurnal Penelitian MIPA, 2(1), 25-27.
Standar Nasional Indonesia (SNI). (2014). Uji ketahanan kayu terhadap organisme perusak kayu (SNI 720-2014). Badan Standardisasi Nasional.
Steel, R.G.D., & Torrie, J.H. (1993). Prinsip dan prosedur statistika suatu pendekatan biometrik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Suprapti, S. (2006). Laporan perjalanan di PT. Tanjung Enim Lestari Pulp and Paper. Tidak dipublikasikan
Suprapti, S. (2013). Pengelolaan jamur perusak kayu untuk mendukung pelestarian dan pemanfaatan sumber daya hutan. Dalam H. R. Sudradjat, Dulsalam, G. Pari, & A. Santoso (Eds.), Himpunan Bunga Rampai Orasi Ilmiah Ahi Peneliti Utama (pp. 1-42). Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan, Bogor.
Suprapti, S., & Djarwanto. (2009). Pedoman budidaya jamur shiitake dan jamur tiram. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan.
Suprapti, S., & Djarwanto. (2014). Produktivitas jamur Pleurotus spp. pada kompos serbukgergaji kayu Hevea brasiliensis Muell. Arg.Dalam W. Suwinarti, I.W. Kusuma, Erwin, & Ismail (Eds.), Prosiding Seminar Nasional XVI Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI): Pemanfaatan Sumberdaya Alam Terbarukan (pp. 278-283). Balikpapan, Kalimantan Timur: Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia.
Surat Keputusan Menteri Pertanian (2009). Persyaratan teknis minimal pupuk organik (SK Mentan No. 28/Permentan/SR.130/5/2009).
Xie, C., Yan, L., Gong, W., Zhu, Z., Tan, S., Chen, D., Hu, Z., & Peng, Y. (2016). Effects of different substrates on lignocellulosic enzyme expression, enzyme activity, substrate utilization and biological efficiency of Pleurotus eryngii. Physiology and Biochemistry, 39, 1479-1494.
Villaceran, A.B., Kalaw, S.P., Natural, P.S., Abella, E.A., & Reyes, R.G. (2006). Cultivation of Thai and Japanese strains of Pleurotus sajor-caju on rice-straw-based Volvariella volvacea mushromm spent and composted rice straw in central Luzon Region, Philippines. Journal of Agricultural Technology, 2(1), 69-75.
Wang, H., & Ng, T.B. (2006). Ganodermin, an antifungal protein from fruiting bodies of the medicinal mushroom Ganoder ma lucidum. Pe ptides, 27(1), 27-30. doi: 10.1016/j.peptides.2005.06.009.
Widyati, E., & Wahyudi, A. (2011). Dari hutan kembali ke hutan sludge industri kertas memperbaiki produktivitas tanah pertanian, kehutanan dan pertambangan. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan.
Yuzelma, Ahmad, A., & Nofrizal. (2013). Kajian toksisitas limbah biosludge yang berasal dari ipal industri pulp dan kertas dengan metode toxicity characteristik leaching procedure. Jurnal Lingkungan, 7(1), 60-67.



DOI: https://doi.org/10.20886/jphh.2017.35.4.243-254
For further details log on website :

http://ejournal.forda-mof.org/ejournal-litbang/index.php/JPHH/article/view/1853

KARAKTERISTIK LAMINASI BAMBU PADA PAPAN JABON

Author
Achmad Supriadi, Ignasia Maria Sulastiningsih, Subyakto Subyakto

Abstract


Tanaman jabon (Anthocephallus cadamba Miq.) sudah banyak ditanam oleh masyarakat sebagai bahan alternatif untuk keperluan bangunan dan mebel. Kayu jabon memiliki dua kelemahan, yaitu tidak kuat (termasuk kelas kuat IV) dan tidak awet (kelas awet V). Untuk meningkatkan sifat kekuatan kayu jabon dalam penelitian ini dilakukan pembuatan papan komposit kayu jabon laminasi bambu atau papan jabon laminasi bambu (PJLB). Bambu yang digunakan adalah bambu mayan (Gigantochloa robusta Kurz) dan bambu andong (Gigantochloa pseudoarundinaceae (Steudel) Widjaja). Kayu jabon dan bilah bambu andong dan bambu mayan yang digunakan untuk membuat PJLB direndam dalam larutan boron 7% hingga mencapai target retensi 6 kg/m3. PJLB dibuat dengan empat macam komposisi lapisan, menggunakan perekat isosianat dengan berat labur 250 g/m2 permukaan, dikempa dingin dengan lama pengempaan satu jam. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan kualitas kayu jabon akibat rekayasa PJLB dan pengaruh jumlah lapisan bambu tersebut terhadap sifat PJLB. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas PJLB secara nyata dipengaruhi oleh jumlah lapisan bambu, kecuali keteguhan rekatnya. Pelapisan bambu pada kayu jabon (PJLB) telah meningkatkan nilai kerapatan sebesar 10%, modulus elastisitas (MOE) 71%, modulus patah (MOR) 34% dan keteguhan tekan 20% dibanding kayu jabon tanpa laminasi. PJLB memiliki sifat mekanis atau kekuatan setara dengan kayu kelas kuat III.

Keywords


Papan laminasi; jabon; bambu andong; bambu mayan; sifat fisis dan mekanis

References


Abdurachman & Hadjib, N. (2005). Kekuatan dan kekakuan papan lamina dari dua jenis kayu kurang dikenal. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 23(2), 87-100.
Abdurachman & Hadjib, N. (2009). Sifat fisik dan mekanik kayu lamina campuran kayu mangium dan sengon. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 27(3), 191-100.
Abdurachman, Hadjib, N., Jasni, & Balfas, J. (2015). Sifat papan komposit kombinasi bambu dan kayu. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 27(3), 191-100.
Ahmad, M. & Kamke, F.A. (2011). Properties of parallel strand lumber from Calcutta bamboo (Dendrocalamus strictus). Wood Science Technology, 45, 63-72.
American Standard for Testing Material (ASTM). (1995a). Standard test methods for evaluating properties of wood-based fiber and particle panel materials. Philadelphia: Annual Book of ASTM Standard.
American Standard for Testing Material (ASTM). (1995b). Standard test methods for wood-based structural panels in compression. Philadelphia: Annual Book of ASTM Standard.
Dransfield, S., & Widjaja, E. A. (1995). Bamboos Plant Resources of South East Asia. Backhys Publisher, Leiden. Prosea Foundation., 7.
Hendradi, T. C. (2012). Statistik six sigma dengan Minitab. Panduan cerdas inisiatif kualitas. Yogyakarta: Andi Offset.
Japan Plywood Inspection Corporation (JPIC). (2003). Japanese agricultural standard for glued laminated timber. MAFF, Notification No. 234. The Ministry of Agriculture Forestry and Fisheries. Tokyo: Japan Plywood Inspection Corporation.
Martawijaya, A., Kartasudjana, I., Mandang, Y.I., Kadir, K., & Prawira, S. A. (2005). Atlas Kayu Indonesia Jilid II (edisi revisi). Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan.
Oey D.S. (1990). Berat jenis dan jenis-jenis kayu Indonesia dan pengertian beratnya kayu untuk keperluan praktek. Pengumuman Nr. 13. Bogor: Lembaga Penelitian Hasil Hutan.
Santoso, A., I.M.Sulastiningsih, Pari, G., & Jasni. (2016). Pemanfaatan ekstrak kayu merbau untuk perekatan produk laminasi. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 34(2), 89-100.
Setyaji, T., Nirsatmanto, A., Sunarti, S., Surip, D., Kartikaningryas, Yuliasruti, D. S., & Sumaryana. (2014). Budidaya intensif jabon merah. Bogor: IPB Press.
Sudjana. (2006). Desain dan analisis eksperimen. Bandung: Tarsito.
Sulastiningsih, I. M. (2008). Beberapa sifat bambu lamina yang terbuat dari tiga jenis bambu. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 26(3), 277-287.
Sulastiningsih, I.M., & Hadjib, N. (2009). Physical and mechanical properties of laminated bamboo board. Journal of Tropical Forest Science, 21(3), 246-251.
Sulastiningsih, I.M., Hadjib, N., & Santoso, A. (2005). Pengaruh lapisan kayu terhadap sifat bambu lamina. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 23(1), 15-22.
Sulastiningsih, I.M., Ruhendi, S., Massijaya, M.Y., Darmawan, I.W., & Santoso, A. (2014). Pengaruh komposisi arah lapisan terhadap sifat papan bambu komposit. Jur nal Penelitian Hasil Hutan, 32(3), 221-232.
Sulastiningsih, I. M., Santoso, A., & Krisdianto. (2016). Karakteristik papan bambu lamina susun tegak dari bilah bambu andong (Gigantochloa pseudoarundinacea (Steud.) Widjaja). Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 34(3), 167-177.
Verma, C. S., & Chariar, V. M. (2012). Development of layered laminate bamboo composite and their mechanical properties. Composites Part : B43, 1063-1069.



DOI: https://doi.org/10.20886/jphh.2017.35.4.263-272
For further details log on website :
http://ejournal.forda-mof.org/ejournal-litbang/index.php/JPHH/article/view/2845

KERUSAKAN TEGAKAN TINGGAL AKIBAT PEMANENAN KAYU PADA HUTAN TROPIS BERBUKIT DI KALIMANTAN TENGAH

Author
Soenarno Soenarno, Wesman Endom, Sofwan Bustomi

Abstract


Salah satu indikator pengelolaan hutan lestari adalah adanya dampak kerusakan tegakan tinggal yang ditimbulkan oleh kegiatan pemanenan kayu. Tulisan ini mempelajari kerusakan tegakan tinggal akibat pemanenan kayu di hutan tropis berbukit di Kalimantan Tengah. Pengamatan dilakukan dengan menggunakan plot contoh penelitian berukuran 200 m x 100 m yang ditempatkan secara sistematis pada tiga petak tebang terpilih dengan operator chainsaw yang berbeda tingkat kemahirannya. Hasil penelitian menunjukkan besarnya derajat kerusakan tegakan tinggal akibat pemanenan kayu berkisar antara 19,37 – 34,9% dengan rata-rata 24,37% termasuk kategori kerusakan tegakan tingkat ringan. Kerusakan tegakan tinggal rata-rata akibat penebangan adalah 16,27% dan akibat penyaradan kayu sebesar 8,1%. Operator chainsaw yang tidak terlatih/kurang berpengalaman cenderung mengakibatkan kerusakan lebih besar dibandingkan operator chainsaw yang sudah terlatih. Tipe kerusakan tegakan akibat penebangan baik pada areal yang landai, agak curam maupun curam didominasi oleh patah batang pohon. Tipe kerusakan tegakan tinggal akibat penyaradan umumnya berupa pohon yang roboh/miring. Kerusakan tegakan akibat pemanenan kayu dapat dikurangi dengan pengawasan yang lebih baik di areal penebangan dan memberikan pelatihan dan/atau penyegaran kepada operator chainsaw dan traktor sarad mengenai teknik penebangan dan penyaradan ramah lingkungan.

Keywords


Pemanenan kayu; hutan alam; sistem tebang pilih; derajat kerusakan; tegakan tinggal

References


Badraghi, N., Erler, J., & Hosseini, S. A. O. (2015). Residual damage in different ground logging methods alongside skid trails and winching strips. Journal of Forest Science, 61 (12), 526-534. doi: 10.17221/50/2015-JFS.
Behjou, K. F., & Mollabashi, O. G. (2012). Selective l o gging and d a m a ge t o unharvested. BioResources, 7(4), 4867-4874.
Budiaman, A., & Pradata, A.A.(2013). Low impact felling distance and allowable number of felled trees in TPTI system, XIX (December), 194-200.doi: 10.7226/jtfm.19.3.194.
Canadell, J. G., & Raupach, M. R. (2008). Managing forests for climate change mitigation. Science, 320(5882), 1456-1457. doi: 10.1126/science.1155458.
Chao,S. (2012). Forest peoples: Numbers across the world. Forest Peoples Programme. United Kingdom.
Elias. (2002). Rasionalisasi kegiatan logging dan kondisi minimum struktur tegakan yang boleh ditebang dalam pengelolaan hutan alam tropika Indonesia. Teknologi Hasil Hutan, 15(1), 35-47.
Elias. (2008). Pembukaan wilayah hutan (Edisi I). Bogor: IPB Press.
Eroglu, H., ÖztĂŒrk, U. O., Sönmez, T., Tilki, F., & Akkuzu, E. (2009). The impacts of timber harvesting techniques on residual trees, seedlings, and timber products in natural oriental spruce forests. African Journal of Agricultural Research, 4(3), 220-224.
FAO. (2010). Global forest resources assessment 2010. America (Vol. 147). Rome. Diakses dari http://doi.org/ISBN 978-92-5-106654-6, pada tanggal 20/2/2017
Hawthorne, W. D., Marshall, C. A. M., Juam, M. A., & Agyeman, V. K. (2011). The impact of logging damage on tropical rainforests, their recovery and regeneration. Ghana. Diakses dari http://doi.org/ISBN 9780850741688, pada tanggal 22/2/2017.
Indrawan, A. (2002). Penerapan sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) pada hutan dipterocapaceae, hutan hujan dataran rendah di HPH PT Hugurya, Aceh. Jurnal Manajemen Hutan Tropika V(2), 75-88.
Kementerian Kehutanan (2002). Pedoman dan tata cara pemberian Izin Pemungutan Hasil Hutan (IPHH) pada hutan produksi. Kementerian Kehutanan, Indonesia.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (2016). Statistik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Tahun 2015. Jakarta: Pusat Data dan Informasi.
Marn, H.M., & Jonker, W. (1981). Logging damage in tr opical high for est. Kuching: Forest Department
Mirkala, R.M. (2017). Comparison of damage to residual stand due to applying two different harvesting methods in the Hyrcanian forest of Iran: cut-to-length vs. tree length. Caspian Journal of Environment Science 15(1), 13-27.
Muhdi, Elias, Murdiyarso, D., & Matangaran, J.R. (2014). Kerusakan tegakan tinggal akibat pemanenan kayu reduced impact logging dan konvensional di hutan alam tropika (Studi kasus di areal IUPHHK PT Inhutani II, Kalimantan Timur). Jurnal Manusia dan Lingkungan, 19(3), 303-310.
Muhdi, & Hanafiah, D. S. (2007). Dampak pemanenan kayu berdampak rendah terhadap kerusakan tegakan tinggal di hutan alam (studi kasus di areal HPH PT. Suka Jaya Makmur, Kalimantan Barat). Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia, 9(1), 32-39.
Pakhriazad, H.Z., Shinohara, T., Nakama, Y., & Yukutake, K . (2004 ). A Selective Management System (SMS): A case study in the implementation of SMS in managing the dipterocarp forests of Peninsular Malaysia. Kyushu Journal of Forest Research, 57(3), 39-44.
Pradata, A. A. (2012). Kerusakan tegakan tinggal akibat penebangan pohon di PT. Mamberamo Alasmandiri, Provinsi Papua. (Skripsi) Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Putz, F. E., Zuidema, P. ., Synnott, T., Claros, M. P., & Pinard, M. A. (2012). Sustaining conservation values in selectively logged tropical forests: The attained and the attainable. Conservation Letters, 5(4), 296-303. doi: 10.1111/j.1755-263X.2012.00242.x.
RodrĂ­guez, C., Ramos, I. P., Ourcival, Limousin, Joffre, & Rambal. (2011). Is selective thinning an adequate practice for adapting Quercus ilex coppices to climate change? Annals of Forest Science, 68(3), 575-585. doi: 10.1007/s13595-011-0050-x.
Ruslandi. (2013). Penerapan pembalakan berdampak rendah-carbon (RIL-C). Jakarta: The Nature Concervancy.
Ruslim, Y. (2016). Stand damage due to mono- cable winch and bulldozer yarding in a selectively logged tropical forest. Journal Biodiversitas, 17(1), 222-228. doi: 10.13057/ biodiv/d170132.
Sist, P., Fimbel, R., Sheil, D., Nasi, R., & Chevallier, M.-H. (2003). Towards sustainable management of mixed dipterocarp forests of South-East Asia: Moving beyond minimum diameter cutting limits. Environmental Conservation, 30(4), 364-374. doi: 10.1017/S0376892903000389.
Suhartana, S., & Idris, M.M. (1996). Kondisi tegakan tinggal di kawasan dua perusahaan hutan di Riau. Buletin Penelitian Hasil Hutan, 14(4), 129-137.
Tavankar, F., Majnounian, B., & Bonyad, A.E. (2013). Felling and skidding damage to residual trees following selection cutting in Caspian forests of Iran. Journal of Forest Science, 59(5), 196-203.
Wijayanti, A. (2013). Kerusakan tingkat tiang dan pohon akibat penebangan intensitas rendah di IUPHHK-HA PT. Sari Bumi Kusuma, Kalimantan Tengah, (Skripsi) Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Wu, L., Liu, J., Takashima, A., Ishigaki, K., & Watanabe, S. (2013). Effect of selective logging on stand structure and tree species diversity in a subtropical evergreen broad-leaved forest. Annals of Forest Science, 70(5), 535-543. doi: 10.1007/s13595-013-0292-x.



DOI: https://doi.org/10.20886/jphh.2017.35.4.273-288
For further details log on website "

http://ejournal.forda-mof.org/ejournal-litbang/index.php/JPHH/article/view/2971

KETAHANAN ALAMI JENIS-JENIS BAMBU YANG TUMBUH DI INDONESIA TERHADAP RAYAP TANAH (Coptotermes curvignathus Holmgren)

Author
Jasni Jasni, Ratih Damayanti, Rohmah Pari

Abstract


Ketahanan alami setiap jenis bambu berbeda sehingga informasi mengenai ketahanan alami setiap jenis bambu penting diketahui sebagai dasar pemanfaatannya. Tulisan ini mempelajari ketahanan alami dan pengelompokan dua puluh jenis bambu terhadap serangan rayap tanah. Dua puluh jenis bambu yang tumbuh dari berbagai daerah di Indonesia seperti Jawa Tengah, Jawa Barat, Banten, Kebun Raya Bogor, dan Lampung diuji ketahanannya terhadap rayap tanah Coptotermes curvignathus Holmgren berdasarkan SNI 7204-2014. Parameter yang diamati meliputi persentase penurunan berat bambu, persentase jumlah rayap yang hidup, dan derajat serangan secara subyektif. Berdasarkan persentase penurunan berat, tiga jenis bambu termasuk dalam kelas ketahanan I, lima jenis kelas II, tiga jenis kelas III, tujuh jenis kelas IV, dan dua jenis kelas V. Berdasarkan jumlah rayap yang hidup, satu jenis termasuk dalam kelas ketahanan I, empat jenis kelas II, satu jenis kelas III, 11 jenis kelas IV, dan tiga jenis kelas V.

Keywords


Rayap tanah; pengurangan berat; jumlah rayap hidup; kelas ketahanan; derajat serangan

References


Technology, 3(9), 937-962. Retrieved from http://www.ejournalofscience.org
Jasni, Pari, G., & Kalima, T. (2016). Komposisi kimia dan ketahanan 12 jenis rotan dari Papua terhadap bubuk kayu kering dan bangunan gedung. Papua terhadap bubuk kayu kering dan rayap tanah.Jurnal Penelitian Hasil Hutan,34(1), 33-43. https://doi.org/10.20886/jphh.2016.34.1.33-43.
Jasni, & Roliadi, H. (2010). Daya tahan 25 jenis rotan terhadap rayap tanah. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 28(1), 55-65.
Jasni, & Rulliaty, S. (2015). Ketahanan 20 jenis kayu terhadap serangan rayap tanah (Coptotermes curvignathus Holmgren) dan rayap kayu kering (Cryptotermes cynocephalus Light). Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 33(2), 125-133.
Jasni, Damayanti, R., & Sulastiningsih, I.M. (2017). Pengklasifikasian ketahanan 20 jenis bambu terhadap rayap kayu kering. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 35(3), 171-183.
JitKaur, P., Satya, S., Pant, K., & Naik, S. (2015). Eco-friendly preservative treated bamboo culm: Compressive strength analysis. International Journal of Chemical, Molecular, Nuclear, Materials and Metallurgical Engineering, 9(1), 43-46.
Limi, Z. (2014). Keawetan alami kayu tumih (Combretocarpus rotundatus Miq Dancer.) dari serangan rayap kayu kering, rayap tanah dan jamur pelapuk kayu. Institut Pertanian Bogor.
Loiwatu, M., & Manuhuwa, E. (2008). Komponen kimia dan anatomi tiga jenis bambu dari Seram, Maluku. AGRITECH, 18(2), 76-83.
Martawijaya, A. (1996). Petunjuk Teknis: Keawetan kayu dan faktor yang mempengaruhinya. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan dan Sosial Ekonomi Kehutanan.
Mayasari, K., Yunus, M., & Daud, M. (2015). Efektivitas pengawet bambu untuk bahan material rumah apung Danau Tempe di Sulawesi Selatan. Jurnal Permukiman, 10(2), 118-129.
Nandiaka, D., Y. Rismayadi & F. Diba (2003). Rayap. Biologi dan pengendaliannya. Surakarta:Muhammadiyah University Press.
Nandika, D. (2015). Satu abad perang melawan rayap. Mitigasi bahaya serangan rayap pada bangunan gedung.Workshop. Jakarta.Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.
Nurkertamanda, D., Andrelina, W., & Widiani, M. (2011). Pemilihan parameter pre-treatment pada proses pengawetan bambu laminasi. J@TI Undip, VI(3), 155-160.
Ott, R. (1994). An introduction to statistical methods and data analysis. Belmont, CA, USA: Duxburry Press.Purnamasari, I. (2013). Ketahanan oriented strand board bambu dengan perlakukan steam dan non steam terhadap serangan rayap dan kumbang bubuk (Skripsi Sarjana). Institut Pertanian Bogor.
SAS. (1997). SAS (Statistical Analysis System) guide for personal computers (Version 6). Cary, NC: SAS Institute Inc.
Sharma, P., Dhanwantri, K., & Mehta, S. (2014). Bamboo as a building material. International Journal of Civil Engineering Research, 5(3), 250-254. Retrieved from http://www.ripublication.com/ ijcer.htm.
Standar Nasional Indonesia (SNI). (2014). Uji ketahanan kayu terhadap organisme perusak kayu (SNI 7207-2014). Jakarta: Badan Standardisasi Nasional.
Steel, R., & Torrie, J. (1993). Prinsip dan prosedur statistika (Terjemahan). Yogyakarta: PT Gramedia.
Sumarni, G. (2004). Keawetan kayu terhadap serangga. Upaya menuju efesiensi penggunaan kayu. Orasi Pengukuhan Ahli Peneliti Utama. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Jakarta.
Sumarni, G., & Roliadi, H. (2001). Daya tahan 109 jenis kayu Indonesia terhadap rayap tanah (Coptotermes curvignathus Holmgreen). Buletin Penelitian Hasil Hutan, 20(3), 177-185.
Susilaning, L., & Suheryanto, D. (2012). Pengaruh waktu perendaman bambu dan penggunaan borak-borik terhadap tingkat keawetan bambu. Dalam Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sains & Technologi (SNAST) Periode III (pp. A94-A101). Yogyakarta.
Widjaja, E. (2011). The utilization of bamboo: At present and for the future. Dalam A. N. Gintings & N. Wijayanto (Eds.), Proceedings of Inter national Seminar Strategies and Challenges on Bamboo and Potential Non Timber Forest Products (NTFP) Management and Utilization (pp. 79-85).
Zulkarnaen, R. N., & Andila, P. S. (2015). Dendrocalamus spp.: Bambu raksasa koleksi Kebun Raya Bogor. Dalam Prosiding Seminar Nasional Masyarakat Biodiversitas Indonesia Vol. I No 3 (pp. 534-538).



DOI: https://doi.org/10.20886/jphh.2017.35.4.289-301

For further details log on website :
http://ejournal.forda-mof.org/ejournal-litbang/index.php/JPHH/article/view/2154

KANDUNGAN MINYAK MALAPARI (Pongamia pinnata (L.) Pierre) DARI PULAU JAWA SEBAGAI SUMBER BAHAN BAKU BIODIESEL

Author
Aam Aminah, Supriyanto Supriyanto, Iskandar Zulkarnaen Siregar, Ani Suryani

Abstract


Malapari (Pongamia pinnata (L.) Pierre) adalah salah satu bahan baku biodiesel yang paling potensial untuk dikembangkan di Indonesia. Tanaman ini secara alami tersebar mulai dari Sumatera sampai Papua, namun belum diketahui informasi mengenai kandungan minyak dan sifat fisiko-kimia minyak malapari khususnya yang ada di Pulau Jawa. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari komposisi kimia biji malapari, mengidentifikasi komposisi asam lemak dari minyak biji yang dihasilkan dan mengkarakterisasi sifat fisiko-kimia minyaknya. Penentuan komposisi kandungan kimia biji malapari dilakukan dengan analisis proksimat. Analisis sifat fisiko-kimia minyak biji malapari dilakukan dengan metode pengujian ASTM. Hasil penelitian menunjukkan bahwa populasi Batukaras merupakan populasi yang paling baik sebagai sumber bahan baku biodiesel karena mempunyai nilai kadar minyak tertinggi. Keunggulan lain dari populasi Batukaras memiliki nilai berat jenis, viskositas, dan bilangan asam yang terendah. Minyak malapari didominasi oleh asam lemak oleat dan linoleat yang merupakan asam lemak tidak jenuh yang berpotensi untuk biodiesel. Berdasarkan nilai asam lemak (oleat dan linoleat) dan sifat fisiko kimia (berat jenis dan nilai kalor) minyak mentah malapari dari kelima populasi telah memenuhi syarat untuk dijadikan bahan baku biodiesel.

Keywords


Biodiesel; minyak; Pongamia pinnata; sifat fisiko kimia

References


Aminah, A. (2017). Karakterisasi morfologi, genetik, kandungan minyak dan evaluasi awal pertumbuhan bibit pongamia (Pongamia pinnata (L.) Pierre) di Pulau Jawa. (Disertasi). Program Pendidikan Doktor, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Aminah, A., & Syamsuwida, D. (2013). Penentuan karakteristik fisiologis benih kranji (Pongamia pinnata) berdasarkan kadar air. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman, 10(1), 1-6.
Ben, A., & Amotz. (2009). Bio-fuel and CO2 capture by micro-algae. Séminaire ANR: << Bioénergies de 3Úme génération.
Bobade S.N., & Khyade V.B. (2012). Detail study on the properties of Pongamia pinnata (Karanja) for the production of biofuel. Research Journal of Chemical Sciences, 2(7), 16-20.
Chandra, B.B., Setiawan, F., Gunawan, S., & Widjaja, T. (2013). Pemanfaatan biji buah nyamplung (Callophylum inophylum) sebagai bahan baku pembuatan biodiesel. Jurnal Teknik Pomits, 2(1), B13-B14.
Hambali, E., Thahar, A., Nisyaw, F.N., Biladi, D.B.C., & Haryanto, D. (2015). Sumber bahan bakar nabati. Dalam T. H . Soerawidjaja & Kudiana (Eds.) Peta jalan litbang bahan bakar nabati: Menuju mandiri energi.
Handayani, R., Rukminita, S., & I.G. (2015). Karakteristik fisiko-kimia minyak biji bintaro (Cerbera manghas L) dan potensinya sebagai bahan baku pembuatan biodiesel. Jurnal Akuatika, 6(2), 177-186.
Hasibuan, S., Sahirman, & Yudawati, N.M.A. (2013). Karakteristik fisikokimia dan antibakteri hasil purifikasi minyak biji nyamplung (Calophyllum inophyllum L.). Agritech, 33(3), 311-319. doi: 10.22146/ agritech.9553.
Ketaren, S. (2008). Pengantar teknologi minyak dan lemak pangan. Jakarta: UI Press.
Listiawati, A.P. (2007). Pengaruh kecepatan sentrifugasi terhadap karakteristik biodiesel jarak pagar (Jatropha curcas L.). (Skripsi). Program Pendidikan Sarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Mittelbach, M., & Remschmidt, C. (2006). Biodiesel: The comprehensive handbook (Ed ke-3). Austria: Boersedruck Ges.m.b.H.
Morton, J. F. (1990). The Pongamia tree, unfit for Florida landscaping, has multiple practical uses in under-developed lands. Proceedings of the Florida State Horticultural Society, 103, 338-343.
Muthu, C., Ayyanar, M., Raja, N., & Ignacimuthu, S. (2006). Medicinal plants used by traditional healers in Kancheepuram district of Tamil Nadu, India. Journal of Ethnobiology and Ethnomedicine, 2(43)1-10. doi: 10.1186/1746-4269-2-43.
Nugrahani, R.A. (2008). Perancangan proses pembuatan pelumas dasar sintetis dari minyak jarak. (Disertasi). Program Pendidikan Doktor, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia. (2015). Perubahan ketiga atas peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral nomor 32 tahun 2008 tentang penyediaan, pemanfaatan, dan tata niaga bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bahan bakar lain.
Sangwan, S., Rao, D.V., & Sharma, R.A. (2010). A review on Pongamia pinnata (L.) Pierre: A great versatile Leguminous plant. Nature and Science, 8(11), 130-139.
Sastrosupadi, A. (2000). Rancangan percobaan praktis bidang pertanian. Yogyakarta: Kanisius.
Standar Nasional Indonesia. (1992). Cara uji makanan dan minuman (SNI 01-2891: 1992). Badan Standardisasi, Jakarta.
Standar Nasional Indonesia. (1998). Cara uji minyak dan lemak (SNI 01-3555: 1998). Badan Standardisasi, Jakarta.
Sudradjat, R., Pawoko, E., Hendra, D., & Setiawan, D. (2010). Pembuatan biodiesel dari biji kesambi (Schleichera oleosa L.). Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 28(4), 358-379.
Suroso, A.S. (2013). Kualitas minyak goreng habis pakai ditinjau dari bilang an peroksida, bilangan asam dan kadar air. Jurnal Kefarmasian Indonesia, 3(2), 77-88.
Susanti, M., Gandidi, I.M., & Susila, E.S.M. (2013). Potensi produksi minyak atsiri dari limbah kulit kayu manis pasca panen. FEMA, 1(April), 45-49.
Tresniawati, C., Murniati, E., & Widajati, E. (2014). Perubahan fisik, fisiologi dan biokimia selama pemasakan benih dan studi rekalsitransi benih kemiri sunan. Jurnal Agronomi Indonesia, 42(1), 74-79.



DOI: https://doi.org/10.20886/jphh.2017.35.4.255-262


For further details log on website :
http://ejournal.forda-mof.org/ejournal-litbang/index.php/JPHH/article/view/2703

PENGGUNAAN PERALATAN PEMANENAN KAYU YANG EFISIEN PADA PERUSAHAAN HUTAN TANAMAN DI KALIMANTAN SELATAN

Author
Sona Suhartana, Yuniawati Yuniawati

Abstract


Permintaan kayu yang semakin meningkat, tenaga kerja yang kurang serta kemajuan teknologi yang pesat, merupakan faktor yang mempercepat penggunaan peralatan mekanis dalam pemanenan kayu. Dengan banyaknya jenis dan tipe peralatan pemanenan kayu, perlu adanya perencanaan yang matang dalam penggunaannya. Penelitian dilaksanakan di satu perusahaan hutan tanaman industri (HTI) di Kalimantan Selatan pada tahun 2007. Tulisan ini mengetengahkan penggunaan peralatan pemanenan kayu yang efisien yang dianalisis berdasarkan batasan tebang tahunan maksimum yang diibolehkan (AAC), rencana produksi, dan realisasi produksi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Penggunaan peralatan pemanenan kayu yang efisien sebaiknya berdasarkan rencana produksi yang baik, yaitu untuk penebangan sebanyak 10 unit chainsaw, penyaradan 20 unitforwarder, muat bongkar 19 unit excavator, dan pengangkutan 61 unit truk; dan (2) Jumlah peralatan yang digunakan di lapangan untuk penebangan berlebih, sedangkan untuk penyaradan, muat bongkar, dan pengangkutan kurang. Kondisi ini mengindikasikan bahwa penggunaan peralatan pemanenan kayu di perusahaan tak teroganisir dengan baik terutama dalam hal jumlah untuk tipe operasi tertentu, sehingga tidak efisien.

Keywords


Peralatan pemanenan kayu; efisien; rencana produksi yang baik; AAC; realisasi produksi.

References


Anonim. 1984. Teknik Dasar Pemilihan Alat-alat Besar. Technical Consultant Department, United Tractor. Jakarta.
. 1998. Pemanenan Hutan dan Pembukaan Lahan Ramah Lingkungan. PT. Intarco Penta. Jakarta.
. 1992. Cost control in forest harvesting and road contruction. FAO Forestry Paper No.99. FAO of the UN. Rome.
Si torus, M.T.F. 2000. Penebangan liar. Majalah Tropis 10 (2) : 6-9 Oktober 2000. Warta Alam Tropis. Jakarta.
Suhartana, S dan Yuniawati. 2006. Effisiensi penggunaan chainsaw pada kegiatan penebangan: studi kasus di PT. Surya Hutani Jaya, Kalimantan Timur. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 24(1):63-76, Februari 2006. Pusat Penelitian dan Pengambangan Hasil Hutan. Bogor.
. 2007. Penggunaan alat pemanenan kayu yang efisien: studi kasus di satu perusahaan hutan di Kalimantan Timur. Jurnal Wahana Foresta 1(2):1-12, J anuari 2007. Fakultas Kehutanan, U niversitas Lancang Kuning. Pekanbaru.
Suhartana, S., Yuniawati dan Rahmat. 2007. Penggunaan jumlah chainsaw yang tepat dan efisien pada penebangan: Studi kasus di satu perusahaan hutan di Kalimantan Timur. Jurnal Rimba Kalimantan 12(1):62-66, Juni 2007. Fakultas Kehutanan, Universitas Mulawarman. Samarinda.
Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.428/Kpts-II/2003 tentang Pedoman Perhitungan Kebutuhan Optimal Alat-alat Berat, tanggal 18 Desember 2003



DOI: https://doi.org/10.20886/jphh.2008.26.3.243%20%20-%20252


For further information log on website :
http://ejournal.forda-mof.org/ejournal-litbang/index.php/JPHH/article/view/1421

10 Most Beautiful Beaches In The World

#10. Ko Phi Phi Don Island
Ko Phi Phi Don Island - Most Beautiful Beach in the World
It’s the largest in the Ko Phi Phi archipelago and the only one with permanent residents in the group of Phi Phi islands. It is part of Thailand but to get to it; one has to take a 90-minute ferry ride from the mainland or the island of Phuket.
For some time the island has acted as a magnet for tourists. From its natural beauty, this limestone island offers various activities such as snorkeling and scuba diving for those who wish to explore its excellent marine life. Other physical activities include cliff climbing. For the more laid back, relaxing on the beach and sampling the local delicacies as well as shopping in the numerous tourist shops will make your trip worthwhile.
For further information log on website :
https://www.gogopeak.com/most-beautiful-best-beaches-in-the-world/?utm_source=taboola&utm_medium=kano-boredarticles&utm_term=10+Most+Beautiful+Beaches+In+The+World&utm_content=http%3A%2F%2Fcdn.taboola.com%2Flibtrc%2Fstatic%2Fthumbnails%2Fc2a964eca20f231b0e3a75f4a938eac4.jpg&utm_campaign=beach_my_desktop

Top 10 Best Countries To Travel To Alone In 2018




The dream to travel the world has always lingered in the mind of many. The national geographic and Discovery Channel clips are just not enough. You can only feel the thrill of experiencing all those captivating wildlife, countryside or adventure tourism documentaries by traveling the world.
Here are the best destination countries based on criteria like safety, culture, ease of transportation, and lodging for solo travelers in 2018:

1. Bali Island, Indonesia
The cheapest of all countries to visit. Living in a comfortable room, having three meals a day and a few beers for only $25 per day! Accommodation and commodities are cheap everywhere, especially when you move further to the North.

For further information log on website :
http://boredarticles.com/travel/top-10-best-countries-to-travel-to-alone-in-2018/?utm_source=taboolatravelsolo&utm_medium=referral&utm_term=howstuffworks-howstuffworks

Do Too-tight Jog Bras Impair Breathing?

Author
BY ALIA HOYT

Runners should be especially mindful of how their sports bras fit so as not to affect the body's demand for oxygen. ASCENT/PKS MEDIA INC./THE IMAGE BANK/GETTY IMAGES
Most people hit the pavement in search of mind-clearing, health-improving exercise, but could an ill-fitting jog bra be getting in the way of success? It might — if it's too tight.
By their very nature and function, jog or sports bras are supposed to be snug to adequately support the breasts. "However, this can theoretically be detrimental if it constricts to the point of not allowing the chest cavity to expand during breathing," explains Dr. Miho Jean Tanaka, director of the women's sports medicine program at Johns Hopkins University in an email interview.
Fortunately, a jogger would have to really bind "the girls" to cause major trouble. "As most sports bras are designed with elastic bands, it would be unusual for this to actually impair breathing to the point of being dangerous, but could lead to discomfort," Tanaka adds.
Oxygen deprivation isn't something you want to mess around with. Tanaka notes that the brain and muscles rely on breathing oxygen during any type of exercise, but runners in particular should be mindful of bra fit. "Particularly during endurance type activities, our bodies have an even greater demand and [are] more reliant on our breathing to support this," she says, noting that anything that prevents or eliminates deep breaths could cause shortness of breath or even lightheadedness.
The bra sizing system can be confusing, but it's worth the effort to find the appropriate fit. Research by the University of Portsmouth found that a well-fitting, encapsulated jog bra reduced breast movement and related pain by as much as 73 percent, compared with "bare-breasted running." Encapsulated just means that the bra supports each breast separately in an individual cup. A 2014 study published in the Journal of Sports Sciences found that 75 percent of the 1,285 participants experienced sports bra fit problems, most often shoulder straps "digging in" and chaffing, both of which are likely to be caused by a too-small fit.
Athletic/outdoor wear retailer REI recommends runners select a high support/impact design, adding that two fingers, but no more, should be able to fit between the bra's band and the body. To minimize the potential for breathing issues, Tanaka suggests trying prospective jog bras on and testing the fit out via a short period of activity and/or taking deep breaths at rest. "In general, the lower band around the ribs should be snug but not uncomfortable, while the material around the chest may feel tighter to provide adequate support," she explains, adding, "However, there should be no feeling of restricted breathing at rest."
For further information log on website :
https://health.howstuffworks.com/wellness/women/general/do-too-tight-jog-bras-impair-breathing.htm

FDA Takes Step Toward Non-addictive Cigarettes

Author
BY PATRICK J. KIGER

The FDA is proposing cutting nicotine to non-addictive levels to help people quit and to reduce smoking deaths. UNIVERSAL IMAGES GROUP/GETTY IMAGES
Last summer, in a dramatic policy shift, the U.S. Food and Drug Administration (FDA) announced that it wanted to look seriously at a new strategy for getting Americans to quit smoking. Instead of relying on warning labels and high taxes to drive away smokers, the agency would look at reducing or eliminating cigarettes' ability to get smokers hooked, by reducing the amount of nicotine in them to minimally or sub-addictive levels.
Now, the agency is moving ahead with that approach. It recently issued an advance notice of proposed rulemaking, which invited interested parties to submit their comments and ideas on how nicotine might actually be reduced — what technological methods should be used, for example, and whether nicotine should be cut all at once or gradually phased out. It's the first step toward what could be the end of smoking in the U.S. But one expert in tobacco regulation cautions that the process is likely to be a long and arduous one, and that even in a best-case scenario, a final rule that reduces nicotine might not be in place for another five to eight years.
The FDA's plan to curb nicotine has gained momentum in part from a study that the agency funded, which was published in the March 15 issue of the New England Journal of Medicine. In it, researchers ran thousands of computer simulations on what might happen after enacting regulation to lower cigarettes' nicotine content by 2020. In the median scenario produced by the model, cutting nicotine to sub-addictive levels would substantially reduce the percentage of the population who smoke, from the current 15 percent to less than 2 percent by 2100. Over that period, it would prevent 8.5 million deaths from smoking. (Here are the charts with those projections.)

At a March 15 media briefing, FDA Commissioner Scott Gottlieb, M.D., said that the proposed rule would enable the FDA "to pursue our vision of a world where combustible cigarettes would no longer create or sustain addiction. This would make it harder for future generations of vulnerable teens to become addicted in the first place, and it would allow more currently addicted smokers to quit or completely switch to potentially less harmful products."
Also speaking at the briefing was Mitch Zeller, director of the FDA's Center for Tobacco Products. He emphasized that cutting nicotine was important to reducing the harm to public health caused by smoking, which he said kills half of all long-term users prematurely.

Cigarettes Are Addictive by Design

Almost 90 percent of adult smokers started smoking by the age of 18 and, we've known for decades that cigarettes are highly engineered and designed to get and keep users addicted," Zeller said. "More than half of adult cigarette smokers make a serious quit attempt each year, but most do not succeed due the highly addictive nature of cigarettes."
But the timetable and specifics of the nicotine reduction in cigarettes remain unclear. "It's a really big deal, but the devil is in the details," explains Desmond Jenson, senior staff attorney for the Public Health Law Center at Mitchell Hamline School of Law in St. Paul, Minnesota. The center is a partner in the Tobacco Control Legal Consortium, which works with states and local communities on tobacco issues. "If the FDA moves forward with a standard that removed nicotine from any tobacco product, the best version of that would completely change the trajectory of the tobacco epidemic in the U.S."
Jenson says that for nicotine reduction to be effective, it would have to target all combustible tobacco products, not just cigarettes. "If they don't approach it comprehensively, you'll still see plenty of people smoking," he explains. He pointed to what happened when the federal government imposed higher taxes on cigarettes, small cigars and roll-your-own tobacco in an effort to curb smoking back in 2009. A Government Accountability Office investigation subsequently found that sales of large cigars and pipe tobacco — which weren't taxed as heavily — actually increased.
American Heart Association chief executive Nancy Brown also stresses the importance of a sweeping reduction in nicotine. "We encourage the agency not to stop here but move forward quickly with a proposed rule on nicotine levels – not just for cigarettes, but for every combustible tobacco product on the market," she says in an email.

How to Do It?

It's also unclear at this point exactly how nicotine would be reduced in cigarettes — whether it would be through chemical extraction or by genetically modifying the plants to contain lower nicotine. (One plant biotechnology company holds patents on methods that could reduce nicotine levels by 95 to 97 percent, Reuters reported in 2017.) Jenson says the FDA could specify a method, or simply set a standard and allow tobacco companies to choose how they would achieve it.
But before the FDA writes its final rule, it has to go through the laborious process of evaluating and responding to comments from interested parties, which Jenson estimates might amount to as many as 100,000 comments — some of them hundreds of pages long — before the process is completed.
"I wouldn't expect a final rule for at least 5 to 8 years," Jenson says.
For further information log on website :
https://health.howstuffworks.com/wellness/smoking-cessation/fda-takes-step-toward-non-addictive-cigarettes.htm

Advantages and Disadvantages of Fasting for Runners

Author BY   ANDREA CESPEDES  Food is fuel, especially for serious runners who need a lot of energy. It may seem counterintuiti...